Ukril, kreatif, peduli dengan lingkungan, membaca ayat-ayat Tuhan yang
terbentang luas disekitar selalu di dhawuhkan oleh Bapak Kyai Tanjung kepada
semua jamaah.
Selama ini yang saya pahami
tentang dhawuh di atas adalah “memaksa”.
Ukril dan kreatif itu memaksa diri agar lebih peduli dengan potensi di sekitar
kita. Bagaimana tidak memaksa? karena hal yang lebih mudah dilakukan hanyalah
menjalankan pekerjaan seperti biasanya.
Saya terhenyak setelah mendengar
kisah seorang penjual es cao di pasar
yang saya temui kemarin. Beliau, mempunyai semangat juang menghidupi
keluarganya, namun sayang sekali, dirinya tidak berani melakukan perubahan
untuk mengubah nasib, tidak mau memahami ayat-ayat Tuhan di sekitar. Alih-alih,
hanya bergantung pada rasa simpatik saudara dan tetangga demi keberlangsungan
hidup.
Kisah hidupnya itu dituturkan
kepada saya, bermula saat beberapa hari yang lalu sekitar pukul empat sore
ketika saya pulang bekerja. Saya berhenti untuk memesan es cao dua di bungkus.
Saya duduk menunggu di kursi yang telah disediakan di sebelah gerobaknya. Setelah
menunggu beberapa saat, beliau menyodorkan segelas es cao kepada saya. “Ya
tuhan.. saya tadi pesan apa? Di kasih apa!, Ya sudahlah, berarti suara saya
yang memang kurang kencang ” gumam saya
dalam hati.
Dengan riang dan ramah, akhirnya
kami mulai berbincang-bincang. Saling bertanya dari mana dan tinggal dimana, singkat
cerita, sore itu kami menatap hilir mudik orang dijalan sembari
menghabiskan es cao.
Keprihatinan akan sulitnya hidup,
jatuh bangun, awal kisah yang beliau tuturkan. Pada satu masa, sampailah pada
titik nol. Istri beliau sakit, tidak bisa bergerak, beliau melihat air yang
mengalir dimata istrinya di saat-saat itu. Anaknya juga belum diberi makan ,
yang dia lakukan saat itu berjalan di sepanjang kota Surabaya sampai kaki
melepuh, menawarkan diri pada orang-orang kaya. “ Pak, tolong angkat saya jadi
kuli, beri gaji saya duapuluh ribu”. “Maaf sudah penuh mas”. Tak pantang
menyerah.” Lima belas ribu pak”. Jawaban yang sama. “Sepuluh ribu pak”. Jawaban
yang tak akan pernah berubah “. Limaribu pak”. Sebenarnya, kalimat yang tak
bisa keluar darinya adalah “ Pak,saya butuh pekerjaan, seberapapun gajinya,
istri dan anak saya belum makan menunggu dirumah”.
Saya tertegun di atas kursi kecil
mendengarkan kisah singkatnya, sesekali menyeruput es cincau yang semakin
dingin. Gerobak mini yang berada di trotoar tak jauh dari lampu merah. Hilir
mudik para pengemudi meramaikan jalan raya, sesekali terlihat berdesakan mendahului
saat menunggu lampu hijau menyala. Di sore itu, satu lagi kisah manusia
terhimpit keadaan di tengah keramaian. Setelah ratusan kali, kisah-kisah serupa
juga dipersembahkan orang-oraang kepada saya.
Sejauh yang saya pahami dari
petunjuk guru saya, Bapak kyai tanjung. Tentang bekerja untuk ahirat, kita
dianjurkan untuk bekerja keras, dibarengi dengan mempelajari dan mengefaluasi
apa yang sudah kita lakukan. Menjadi professional dibidangnya masing-masing.
Jika pedagang tentu kita harus paham pasar dan penghitungan untung rugi, Tempat
potensial dan lain sebagainya. Menghitung anggaran modal dan menentukan harga
jual dan seterusnya. Semua itu dibarengi dalam niatan diri kembali kepada
Tuhan, niatan untuk mengembangkan potensi, sehingga yang kita rasakaan saat
berdagang tidak semata keruwetan berdunia.
Dan jika kita mengalami kerugian,
kita langsung bisa mengefaluasi kekurangan kita. Apakah tempat yang digunakan
berdagang ini strategis, atau mungkin produk saya kurang menjual, apa yang
membuat konsumen kurang meminati produk saya,
bahkan bisa jadi kita perlu melakukan pendekatan-pendekatan berupa
promosi dan kuis.
Berbeda dengan niatannya yang
hanya untung rugi semata, kita akan cenderung putus asa saat mengalami
kerugian, beralih profesi, gagal lagi, dan seterusnya. Jika sudah demikian,
terasa jiwa yang kosong, hidup semakin mencekik, keinginan hidup sejahtera,
namun apa daya, tuhan tidak adil.
LALU, BAGAIMANA KISAH ANDA BISA
SAMPAI KE KOTA NGANJUK INI? Tanya saya kali ini bersimpati. “Saya baru jualan
tiga mingguan mas”. “ Ini saja penutup gerobaknya baru kemaren saya buat,
sebelumnya tidk ada, jika panas aku
berteduh di bawah gerobak itu”. Ujarnya sembari menunjuk-nunjuk dinding gerobak
depan.
Kali ini saya memerhatian gerobak
yang memang terlhat baru. Baner juga masih terlihat mengkilap baru. “ Ini saya
di bikinkan temen saya banernya, gerobak dibikinkan, saya orangnya tidak punya
apa-apa mas, hanya ikut teman, dibantu teman”.
Ada cerita lucu yang beliau
tuturkan sore itu. “ Hari pertama saya juga bingung, biasanya kalau orang
Surabaya jualan es, di wadahi plastic dan sedotan, udah. Nah, kemaren, ada yang
pesan tiga, dibungkus. Sepontan saya gemetar, bingung, bagaimana cara mengikat
plastik. Saya coba dengan tangan gemetar tetep gak bisa, akhirnya saya bilang
sama si pembeli, saya minta diajari bagaimana megikat plastic dengan karet.
Sepontan juga saya tertawa
mendengar tutur ceritanya, saya salut dengan kegigihannya, yang penting
dikerjaan dulu. Namun, disisi lain, muncul perasaan simpatik dengan beliau,
saya mencoba mengaitkan cara beliau mengambil sebuah keputusan dengan penerapan
pendidikan yang beliau dapatkan selama ini.
Maksut saya, pendidikan adalah
kepedulian dan diterapkan menjadi kebiasaan. Saya tidak pernah berjualan es,
tapi saya pernah mengikat plastic dengan karet. Saya tidak pernah jualan cendol
tapi saya bisa mengisi es cendol ke dalam plastic.
Ilmu katon, istilah jawa yang
sering saya dengar.Pekerjaan yang terlihat mata itu semua orang pasti bisa
melakukan , caranya ya meniru, mempraktikkan .
Disisi lain, ternyata inilah
manfaat luar biasa jika kita sedikit saja mau melihat potensi-potensi di
sekitar kita. Tanggap dengan lingkungan, jika sudah menjadi kebiasaan tentu
akan memudahkan diri kita sendiri, orang lain akan menyebut kita “cerdas”.
Kreatif akan muncul seiring kebiasaan kita mau melihat peluang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar