Kamis, 06 April 2017

Renungan di Awal April : Sang Pencerah dan Kisah Para Pejuang Tuhan

      
     Malam kembali datang, menjelma dengan nuansa gelap nan muram.  Udara terasa pengap, memaksaku keluar dari ruangan bilik yang semakin terasa penat. Aku melangkah pelan menuju teras dengan menenteng laptop di lengan kiri. Benar dugaanku, udara semilir di luar lebih membuatku sedikit lebih rilek. Sayup-sayup kudengar lantunan lagu bernuansa kisah kasih dan cinta berdendang. Di jalanan, kebisingan suara kendaraan bergemuruh. Ini belum larut malam, ujarku lirih.
Aku tertegun sesaat, ingatanku masih terfokus pada sebuah buk u yang baru saja slesai kubaca. Buku yang mengisahkan suatu kisah kemanusiaan beberapa ribu tahun yang lalu. Dimana pada kisah tersebut tertulis, seorang hamba Allah, kekasih Tuhan, Cucu Rasulullah sekaligus pelanjut hak-hak junjungan yang agung, Muhammad SAW, Al-Husain bin Ali, berjuang mengembalikan hak-haknya sebagai pewaris yang agung, penyeru umat dan pembawa risalah kepada umat manusia. Takdirnya harus dituntaskan dipucuk pedang Symr Bin Dzil, yang tak lain adalah seorang muslim.
Kisah itu menguras emosiku hari-hari  ini, dimana semenjak wafatnya Muhammad yang Agung sang utusan, kaum muslimin bak diterpa badai yang tak berkesudahan, hinga? Hingga aku sendiri tak tahu harus berakhir sampai kapan.
Wajar saja jika di era modern seperti saat ini, islam terpecah menjadi banyak golongan dan jenis, mereka semua menganggab bahwa aliran mereka yang paling benar dan di ridhoi Tuhan.
Hal ini sebenarnya adalah ketetapan yang lumrah, mengingat guncangan seperti ini sudah terjadi semenjak beliau, Nabi terakhir mangkat  kembali pada benih suci yaitu Tuhan sendiri.
Semenjak Nabi yang agung mangkat, terjadi gejolak luar biasa diantara para sahabat. Sementara keluarga Ali bin Abi Thalib mengurus jenazah Rosulullah, di tempat lain, Abu bakar, Umar bin khotob dan Utsman bin Afan melakukan rapat pleno guna membahas   kursi kekhalifahan yang saat itu kosong.
Sejak saat itu pula, kaum muslimin terpecah belah, bimbang, kepada siapa mereka berbaiat dan kepada siapa mereka menetapkan imam. Madinah dirundung pilu, Mekah terasa muram, beda pendapat, memunculkan perseteruan, Perseteruan yang tak ada jalan pintas akan di selesaikan diujung pedang. Saat itulah, diantara sesama kaum muslimin, mengalirkan darah saudara sendiri, awal perpecahan secara nyata terjadi.
Aku membuang sejenak ingatanku tentang sejarah islam pascameninggalnya Rasullullah Muhammad. Kisah yang mengungkap wafatnya Imam Ali bin Abi thalib adalah tak lain dibunuh oleh orang islam sendiri, membuatku gamang, Bagaimana konteks Islam di seluruh penjuru dunia  saat ini ?
Imam Al-Hasan yang pada masa kepemimpinannya  melakukan perundingan damai kepada penguasa setempat untuk menyerahkan kekhalifahan kepada bani Umayyah, juga terbunuh. Pembunuh yang tak lain adalah mereka yang menyandang nama Islam.
Hingga pada masa Imam Al-Husain, perjuangannya  membawa ajaran risalah Tauhid dari mendiang kakeknya, mendapat penolakan dari kaum muslimin. Seolah tak ada bumi yang aman bagi dirinya. Madinah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Rosulullah Muhammad sudah tidak menjamin keselamatan Imam Al-Husain. Dengan rombongan kecilnya, terdiri dari wanita, anak-anak dan beberapa pengikut setianya, Imam Al-Husain hijrah ke kota Makkah. Namun begitu juga seperti kota-kota lain, Seruannya tentang Risalah Taukhid tidak mendapatkan respon positif, malah membuat Nyawa Imam Al-Husain terancam, hingga akhirnya beliau melanjutkan hijrahnya ke kota Kufah. Kota dimana mendiang ayahnya pernah menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib.
Belum sempat rombongan kecil Imam Al-Husain sampai ke kota Kufah, ketetapan Tuhan menjemput mereka di lembah Karbala. Dimana seluruh muslim bersembunyi dari kejadian itu, ribuan pedang teracung kepadanya.  Rombongan pembela Al-Husain yang tak lebih dari seratus orang, satu persatu tumbang sebagai syuhada’  .
Pada saat itulah, detik-detik dimana seruan cucu Rasulullah sudah tidk di dengar, mereka lebih memilih dipimpin oleh orang yang haus kekuasaan, jauh dari ahlul bait, dan Tauhid.
 Aku terkesiap sejenak, tak terasa jam ditanganku menunjukkan pukul duabelas malam. Ditengah kesendirian, aku mencoba merasakan kekuatan keimanan yang berkobar dari para pembela Imam Al-Husain pada saat itu. Mereka tidak takut mati dan siksaan, demi keimanan mereka membela para pembawa kebenaran.
Aku memejamkan mata, mencoba menghadirkanrasa sakit  tusukan pedang dilambungku. Terasa panas dan ngilu, rasa itu hilang saat mataku terbuka. “Baru bayangan saja  sudah terasa sakit, bagaimana jika itu benar-benar kualami” desahku dalam hati.
Malam ini,inginku merenung hingga waktu fajar  datang. Anganku terus melayang,  terngiang akan pesan Imam Al-Husain bahwa perjuangannya belum selesai.” Lalu, di tahun 2017 saat ini, siapakah pewaris imam Al-Husain”? Tanyaku lagi.
Ini tentang sebuah kebenaran, seharusnya inilah yang sangat vital bagi semua umat islam. Ini adalah inti dari sebab musabab perpecahan selama ini. Lalu? Mungkinkah kebenaran akan Nampak? Lalu, siapkah aku dan saudaraku yang lain menerima kebenaran itu?
Lalu?
Siapakah yang akan menjawab semua pertanyaanku, mungkin juga, umat islam juga memiliki pertanyaan yang sama sepertiku? Aku tak tahu.
Diawal april ini, fikiranku semakin tak bisa kukendalikan. Menyusul beberapa hari yang lalu, saat aku membuka akun media sosialku, salah seorang teman membagikan undangan terbuka yang membahas tentang ilmu An-nubuwah, Ilmu Tauhid, dan Ilmu jati diri. Saat itulah aku merasa mendapat undangan terbuka yang mengambil tema “ bincang-bincang An-Nubuwah Oleh Bapak Kyai Tanjung”. di Jl.KH Wachid Hasyim No.304 Tanjunganom-Nganjuk-Jatim.  Ada sepercik harapan atas kedunguanku terhadap sejarah dan semoga dapat tercerhkan setelah menghadiri acara tersebut.
Acara tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 09-April-2017. “Sebentar lagi”  Gumamku.
Untuk menggali tentang sang pembicara, aku perlu mengenal beliau, dan dari penelusuranku di internet, akhirnya aku menemukan torehan tinta emas sang pembicara. Gagasan dan pandangan beliau mengenai beragama telah beliau curahkan di websait “jatayu.or.id”. Aku terkesiap saat membaca satu artikel yang berjudul “bagaimana seharusnya beragama”. Sangat tidaak bisa dibantah oleh hati nurani.
Aku pun tak puas dengan membaca satu artikel, lagi-lagi,hatiku tak bisa menampik oleh penjabaran-penjabaran beragama yang sangat logis .
Bapak Kyai Tanjung?
Semoga di tanggal 09 April esok, aku bisa duduk di tengah-tengah para audien dan bisa mendengar setiap penjabaran mengenai pertanyaan-pertanyaanku yang mala mini meluap-luap memenuhi pikiranku.

Entah, apa aku harus menunggu sampai fajar?m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar