Malam kembali datang, menjelma dengan
nuansa gelap nan muram. Udara terasa
pengap, memaksaku keluar dari ruangan bilik yang semakin terasa penat. Aku
melangkah pelan menuju teras dengan menenteng laptop di lengan kiri. Benar
dugaanku, udara semilir di luar lebih membuatku sedikit lebih rilek.
Sayup-sayup kudengar lantunan lagu bernuansa kisah kasih dan cinta berdendang.
Di jalanan, kebisingan suara kendaraan bergemuruh. Ini belum larut malam, ujarku lirih.
Aku tertegun sesaat, ingatanku masih
terfokus pada sebuah buk u yang baru saja slesai kubaca. Buku yang mengisahkan suatu
kisah kemanusiaan beberapa ribu tahun yang lalu. Dimana pada kisah tersebut
tertulis, seorang hamba Allah, kekasih Tuhan, Cucu Rasulullah sekaligus
pelanjut hak-hak junjungan yang agung, Muhammad SAW, Al-Husain bin Ali,
berjuang mengembalikan hak-haknya sebagai pewaris yang agung, penyeru umat dan
pembawa risalah kepada umat manusia. Takdirnya harus dituntaskan dipucuk pedang
Symr Bin Dzil, yang tak lain adalah seorang muslim.
Kisah itu menguras emosiku hari-hari ini, dimana semenjak wafatnya Muhammad yang
Agung sang utusan, kaum muslimin bak diterpa badai yang tak berkesudahan,
hinga? Hingga aku sendiri tak tahu harus berakhir sampai kapan.
Wajar saja jika di era modern seperti saat
ini, islam terpecah menjadi banyak golongan dan jenis, mereka semua menganggab
bahwa aliran mereka yang paling benar dan di ridhoi Tuhan.
Hal ini sebenarnya adalah ketetapan yang
lumrah, mengingat guncangan seperti ini sudah terjadi semenjak beliau, Nabi
terakhir mangkat kembali pada benih suci
yaitu Tuhan sendiri.
Semenjak Nabi yang agung mangkat, terjadi
gejolak luar biasa diantara para sahabat. Sementara keluarga Ali bin Abi Thalib
mengurus jenazah Rosulullah, di tempat lain, Abu bakar, Umar bin khotob dan
Utsman bin Afan melakukan rapat pleno guna membahas kursi kekhalifahan yang saat itu kosong.
Sejak saat itu pula, kaum muslimin terpecah
belah, bimbang, kepada siapa mereka berbaiat dan kepada siapa mereka menetapkan
imam. Madinah dirundung pilu, Mekah terasa muram, beda pendapat, memunculkan
perseteruan, Perseteruan yang tak ada jalan pintas akan di selesaikan diujung
pedang. Saat itulah, diantara sesama kaum muslimin, mengalirkan darah saudara
sendiri, awal perpecahan secara nyata terjadi.
Aku membuang sejenak ingatanku tentang
sejarah islam pascameninggalnya Rasullullah Muhammad. Kisah yang mengungkap
wafatnya Imam Ali bin Abi thalib adalah tak lain dibunuh oleh orang islam
sendiri, membuatku gamang, Bagaimana konteks Islam di seluruh penjuru
dunia saat ini ?
Imam Al-Hasan yang pada masa kepemimpinannya melakukan perundingan damai kepada penguasa
setempat untuk menyerahkan kekhalifahan kepada bani Umayyah, juga terbunuh.
Pembunuh yang tak lain adalah mereka yang menyandang nama Islam.
Hingga pada masa Imam Al-Husain,
perjuangannya membawa ajaran risalah
Tauhid dari mendiang kakeknya, mendapat penolakan dari kaum muslimin. Seolah
tak ada bumi yang aman bagi dirinya. Madinah yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Rosulullah Muhammad sudah tidak menjamin keselamatan Imam
Al-Husain. Dengan rombongan kecilnya, terdiri dari wanita, anak-anak dan
beberapa pengikut setianya, Imam Al-Husain hijrah ke kota Makkah. Namun begitu
juga seperti kota-kota lain, Seruannya tentang Risalah Taukhid tidak
mendapatkan respon positif, malah membuat Nyawa Imam Al-Husain terancam, hingga
akhirnya beliau melanjutkan hijrahnya ke kota Kufah. Kota dimana mendiang
ayahnya pernah menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan Imam Ali bin
Abi Thalib.
Belum sempat rombongan kecil Imam Al-Husain
sampai ke kota Kufah, ketetapan Tuhan menjemput mereka di lembah Karbala.
Dimana seluruh muslim bersembunyi dari kejadian itu, ribuan pedang teracung
kepadanya. Rombongan pembela Al-Husain
yang tak lebih dari seratus orang, satu persatu tumbang sebagai syuhada’ .
Pada saat itulah, detik-detik dimana seruan
cucu Rasulullah sudah tidk di dengar, mereka lebih memilih dipimpin oleh orang
yang haus kekuasaan, jauh dari ahlul bait, dan Tauhid.
Aku
terkesiap sejenak, tak terasa jam ditanganku menunjukkan pukul duabelas malam.
Ditengah kesendirian, aku mencoba merasakan kekuatan keimanan yang berkobar
dari para pembela Imam Al-Husain pada saat itu. Mereka tidak takut mati dan
siksaan, demi keimanan mereka membela para pembawa kebenaran.
Aku memejamkan mata, mencoba
menghadirkanrasa sakit tusukan pedang
dilambungku. Terasa panas dan ngilu, rasa itu hilang saat mataku terbuka. “Baru
bayangan saja sudah terasa sakit,
bagaimana jika itu benar-benar kualami” desahku dalam hati.
Malam ini,inginku merenung hingga waktu
fajar datang. Anganku terus
melayang, terngiang akan pesan Imam
Al-Husain bahwa perjuangannya belum selesai.” Lalu, di tahun 2017 saat ini,
siapakah pewaris imam Al-Husain”? Tanyaku lagi.
Ini tentang sebuah kebenaran, seharusnya
inilah yang sangat vital bagi semua umat islam. Ini adalah inti dari sebab
musabab perpecahan selama ini. Lalu? Mungkinkah kebenaran akan Nampak? Lalu,
siapkah aku dan saudaraku yang lain menerima kebenaran itu?
Lalu?
Siapakah yang akan menjawab semua
pertanyaanku, mungkin juga, umat islam juga memiliki pertanyaan yang sama
sepertiku? Aku tak tahu.
Diawal april ini, fikiranku semakin tak
bisa kukendalikan. Menyusul beberapa hari yang lalu, saat aku membuka akun
media sosialku, salah seorang teman membagikan undangan terbuka yang membahas
tentang ilmu An-nubuwah, Ilmu Tauhid, dan Ilmu jati diri. Saat itulah aku
merasa mendapat undangan terbuka yang mengambil tema “ bincang-bincang
An-Nubuwah Oleh Bapak Kyai Tanjung”. di Jl.KH Wachid Hasyim No.304
Tanjunganom-Nganjuk-Jatim. Ada sepercik
harapan atas kedunguanku terhadap sejarah dan semoga dapat tercerhkan setelah
menghadiri acara tersebut.
Acara tersebut akan dilaksanakan pada
tanggal 09-April-2017. “Sebentar lagi”
Gumamku.
Untuk menggali tentang sang pembicara, aku
perlu mengenal beliau, dan dari penelusuranku di internet, akhirnya aku
menemukan torehan tinta emas sang pembicara. Gagasan dan pandangan beliau
mengenai beragama telah beliau curahkan di websait “jatayu.or.id”. Aku
terkesiap saat membaca satu artikel yang berjudul “bagaimana seharusnya
beragama”. Sangat tidaak bisa dibantah oleh hati nurani.
Aku pun tak puas dengan membaca satu
artikel, lagi-lagi,hatiku tak bisa menampik oleh penjabaran-penjabaran beragama
yang sangat logis .
Bapak Kyai Tanjung?
Semoga di tanggal 09 April esok, aku bisa
duduk di tengah-tengah para audien dan bisa mendengar setiap penjabaran
mengenai pertanyaan-pertanyaanku yang mala mini meluap-luap memenuhi pikiranku.
Entah, apa aku harus menunggu sampai fajar?m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar